Sabtu, 15 Oktober 2011

Sayangi Perempuan dan Anak

Di masa lalu, perdagangan anak dan perempuan hanya dipandang sebagai pemindahan secara paksa ke luar negeri untuk tujuan prostitusi.  Sejumlah konvensi terdahulu mengenai perdagangan manusia, hanya memfokuskan pada aspek tersebut. Namun seiring dengan perkembangan zaman, perdagangan manusia didefinisikan sebagai pemindahan, khususnya perempuan dan anak, dengan atau tanpa persetujuan orang yang bersangkutan di dalam suatu negara, atau ke luar negeri untuk semua perburuhan yang eksploitatif, tidak hanya prostitusi.



Trafficking merupakan salah satu masalah yang perlu penanganan mendesak seluruh komponen bangsa. Hal tersebut diperlukan, sebab bererkaitan erat dengan citra bangsa indonesia di mata internasional. Apalagi, data departemen luar negeri amerika serikat, menunjukkan, indonesia berada di urutan ketiga, sebagai pemasok perdagangan perempuan dan anak terbesar di dunia. Suatu tantangan bagi indonesia untuk menyelamatkan anak bangsa dari keterpurukan.



Memang disadari bahwa, penanganan trafficking tidaklah mudah, karena kasus pengiriman manusia secara ilegal ke luar negeri, sudah terjadi sejak bertahun-tahun lamanya, tanpa adanya perubahan menuju ke arah yang lebih baik.



Masalah perdagangan perempuan dan anak, memang merupakan masalah yang sangat kompleks, yang tidak lepas dari faktor- ekonomi, sosial, budaya, dan politik yang berkaitan erat dengan proses industrialisasi dan pembangunan.



Situasi semacam ini, merupakan santapan sindikat perdagangan perempuan dan anak yang sudah terorganisir, untuk melakukan perekrutan. Bahkan, nyaris jauh dari jangkauan hukum, karena sindikatnya diawali dengan transaksi utang-piutang, antara pemasok tenaga kerja ilegal, dengan korban yang mempunyai bayi atau anak perempuan yang masih perawan. Sehingga, jika korban tidak mampu untuk menyelesaikan transaksi yang telah disepakati, maka agunannya, anak perempuan yang masih bau kencur.

Minat Baca Anak Semakin Minim, Miris!

Masa anak-anak adalah masa bermain. Hampir seluruh waktunya, dipergunakan untuk bermain. Tapi untuk membentuk karakter anak agar ke depan menjadi generasi yang berkualitas, pendidikan harus dilakukan sejak dini. Para orangtua, dan pengajar, harus bisa mengimbangi waktu bermain anak dengan waktu belajar. Karena, salah satu penyebab rendahnya minat baca anak, akibat tak terbiasanya anak punya waktu untuk belajar.


Munculnya masalah belajar pada anak, adalah kurang rajin dan disiplinnya dalam belajar. Banyak hal yang kerap mendominasi kegiatan anak-anak, dan merenggut porsi belajar mereka. Di lingkungan terdekat kita, di dalam rumah, banyak hal yang bisa merenggut porsi belajar anak. Misalnya, siaran televisi dan mainan-mainan yang sedang digandrungi anak-anak. Hal tersebut kerap mengganggu waktu belajar anak-anak kita.


Apakah anak-anak kita patut disalahkan dengan adanya fasilitas-fasilitas tersebut, yang sering kali mengganggu kegiatan belajar ??. Sebenarnya, ketika anak-anak kita tertarik pada sesuatu yang bisa merenggut kegiatan belajar mereka, adalah hal yang sangat wajar. Karena mereka masih belum mengenal tanggungjawab belajar. Yang mereka tahu, adalah bermain, dan bermain. Sehingga, kata “bermain”, akan termemori kuat dalam otaknya, dan itu akan menjadi hal yang paling disukai anak-anak.


Para orangtua pun, harus mawas diri. Karena tak jarang, para orangtua memarahi atau bahkan menyakiti anak-anaknya, karena dianggap melupakan kegiatan belajar. Padahal, saat itulah, para orangtua wajib memiliki pengetahuan dan pengertian yang baiksehingga tidak melakukan tindakan yang kurang tepat terhadap anak. Yang menjadi pr bagi kita, para orang tua adalah…. , ”apakah kita bisa membuat kegiatan belajar menjadi hal yang disenangi anak, layaknya permainan- yang disenangi mereka ??”.


Ada dua hal pokok yang harus menjadi perhatian para orangtua ketika melihat rendahnya keinginan anak untuk belajar.

Pertama, seberapa besar pengaruh permainan terhadap anak ??.

Kedua, faktor dari dalam. Apakah anak-anak kita merasa tidak mampu untuk belajar sehingga kemauan belajar mereka tidak muncul dan memilih untuk bermain.


Untuk faktor pertama, solusinya, para orangtua bisa mendisiplinkan anak untuk belajar. Misalnya, dengan membuat jadwal belajar dan kegiatan untuk anak. Pada mulanya, jadwal itu akan terasa berat bagi anak dan sering kali anak berontak. Namun, sebagai orangtua, harus tetap memiliki sikap tegas agar anak mau melaksanakan jadwal tersebut. Tapi sikap tegas itu, tidak ditunjukkan dengan emosi atau marah-marah. Kita bisa juga mengemas jadwal belajar anak dengan permainan atau cara-cara yang mengasyikkan bagi anak.


Untuk faktor kedua, para orangtua perlu mengetahui bahwa, kemampuan belajar anak tidak terlepas dari perhatian atau konsentrasi anak sebagai perwujudan dari dukungan memori otak. Memori yang bagus pada otak anak, tentu kemampuan mengingat dan memahami pelajaran pun akan baik. Jika kedua faktor tersebut bisa diselesaikan dan diseimbangkan, permasalahan belajar pada anak, akan teratasi.


Membaca sudah harus diterapkan sejak usia dini. Membaca adalah jendela masa depan. Dengan disiplin membaca sejak usia dini, tentu generasi muda kita akan menjadi orang yang memiliki wawasan keilmuan yang baik. Bukan hanya remaja atau orangtua, membaca juga sebaiknya dipupuk dari usia balita. Anak-anak yang masih mudah untuk disuapi pengetahuan, sewajarnya diarahkan agar mereka memiliki minat membaca yang tinggi.


Negara kita sebenarnya tidak terlalu miskin dalam menyediakan bukuatau bahan bacaan untuk didistribusikan ke semua pelosok negeri. Nyatanya, indonesia memiliki banyak penerbit, penulis, ilmuan, peneliti, dan toko-toko bukudari kelas atas sampai kelas bawah. Tetapi, tetap saja masyarakat kita menganggapbuku sebagai makanan yang mahal, dan tidak penting untuk dibaca.


Indonesia pun, menjadi negara dengan minat baca masyarakat, paling rendah di aseanPadahal, peningkatan minat baca masyarakatakan mempercepat kemajuan bangsa indonesia. 
Tidak ada negara yang maju, tanpa buku.

Sabtu, 01 Oktober 2011

Makin Liarnya Remaja Kita di Era Millenium



Masa remaja adalah masa-masa yang paling indah. Pencarian jati diri seseorang terjadi pada masa remaja. Bahkan banyak orang mengatakan bahwa remaja adalah tulang punggung sebuah negara. Statement demikian memanglah benar, remaja merupakan generasi penerus bangsa, yang diharapkan dapat menggantikan generasi-generasi terdahulu dengan kualitas kinerja, dan mental yang lebih baik. Di tangan remajalah tergenggam arah masa depan bangsa ini.

Namun melihat kondisi remaja saat ini, harapan remaja sebagai penerus bangsa yang menentukan kualitas negara di masa yang akan datang, sepertinya bertolak belakang dengan kenyataan yang ada.  Perilaku nakal dan menyimpang di kalangan remaja saat ini, cenderung mencapai titik kritis.  Telah banyak remaja yang terjerumus ke dalam kehidupan  yang dapat merusak masa depan.

Remaja merupakan sebuah proses menuju dewasa yang tidak mungkin dapat di putar kembali. Remaja mempunyai kesempatan untuk merangkai masa masa yang indah dan berkesan, sehingga terkadang remaja sering lepas kendali terhadap godaan pergaulan, lingkungan, bahkan perilaku negatif.

Sex bebas kerap dihubungkan dengan sebuah kebutuhan biologis seorang atau sepasang insan manusia. Dan remaja, rentan terhadap godaan untuk melakukan sex bebas, atau melakukan hubungan badan sebelum waktunya.

Pembinaan orangtua juga sangat diperlukan, untuk memotivasi para remaja untuk menjauhi tindakan yang dikatakan nekat itu. Dengan berbagi kisah dan pengalaman pada anak anak nya, tentu mendorong remaja untuk menyadari sisi baik dan buruk pada suatu peristiwa hubungan intim laki-laki dan perempuan.

Pengetahuan yang setengah-setengah, justru lebih berbahaya ketimbang tidak tahu sama sekali. Karena itu, salah kaprah akan informasi seks di mata remaja, tentunya harus diluruskan. Kalau tidak, bisa jadi remaja akan menganggap bahwa, berhubungan intim sebelum menikah, bukanlah sesuatu yang perlu diperhatikan dengan serius.

Untuk menghindari sex bebas, para orangtua atau bahkan para remaja itu sendiri memiliki berbagai inisiatif. Satu contohnya adalah pernikahan dini. Sebuah nama yang lahir dari komitmen moral dan keilmuan yang sangat kuat, sebagai sebuah solusi alternatif. Ketika fitnah syahwat kian tidak terkendali, ketika seks pranikah semakin merajalela, terutama yang dilakukan oleh kaum muda yang masih duduk di bangku-bangku sekolah. Tidak peduli apakah dia smp bahkan sd, apalagi sma maupun perguruan tinggi. Jika terus dibiarkan tanpa binaan, bagaimana nasib generasi muda bangsa ini? Masa Remaja memang masa terindah dalam hidup yang tidak akan bisa diputar kembali. Tapi bukan berarti di saat-saat itu, kita boleh "MEMBEBASKAN" segalanya. Hei, Ini memprihatikan!


Sketsa Bocah Jalanan


Ini bukan cerita dari negeri antah berantah. Ini adalah pemandangan yang kita saksikan sehari-hari. Jutaan anak usia sekolah menggelandang di perempatan jalanan, di emperan toko, di jembatan penyeberangan dan di sudut-sudut kota yang kumuh. Wajah mereka terlihat kuyu dengan kulit dekil dan baju kumal.

Tidak ada data pasti berapa jumlah mereka. Data tidak resmi menyebut angka antara 8 juta hingga 12 juta anak usia sekolah kehilangan kesempatan menimba ilmu karena hidup di jalanan.  Umumnya karena masalah kemiskinan. Hanya sebagian kecil yang menjadi anak jalanan akibat masalah sosial dalam keluarganya.
Lepas dari benar atau tidaknya angka tersebut, kehadiran anak usia sekolah di jalanan membuat semua orang merasa miris. Dalam usia yang masih sangat belia, anak-anak jalanan itu hidup dengan risiko kesehatan dan keamanan yang luar biasa tinggi.

Bocah-bocah kecil dipaksa oleh lingkungan hidup yang keras untuk bekerja tanpa kesempatan belajar sedikit pun. Sebagian dari mereka menjadi pengemis, pemulung, pengamen bahkan juga menjadi penjaja seks oleh sebuah sindikat perdagangan anak.
Jalanan bukan tempat terbaik buat anak-anak. Namun kemiskinan hidup memaksa mereka untuk hidup dengan kondisi buruk itu. Bila tidak ada perhatian untuk mengatasi masalah ini, 8 juta atau 12 juta anak jalanan ini akan menjadi masalah besar pada 15 atau 20 tahun lagi, ketika mereka sudah memasuki usia angkatan kerja.
Bekal pendidikan dan keterampilan yang terbatas akan membuat mereka tidak bisa bersaing. Maka tetap hidup di jalanan akan menjadi pilihan satu-satunya bagi mereka untuk mendapat uang secara cepat dan mudah. Memang tragis. Tapi itulah kehidupan nyata di sekitar kita!


                                                                     - Joko Intarto -