Kamis, 06 November 2014

Asal-usul "Saung Seling" Masyarakat Dayak



Sekilas Tentang Asal-usul  Kerajinan Saung Seling Pada Masyarakat Dayak Suku Kenyah Leppu Maut Di Daerah (sungai bahau) Long Alango  Kecamatan Bahau Hulu, Kabupaten Malinau

Kondisi Sosial Masyarakat

Ulu Bahau adalah sebutan populer untuk menyebut salah satu daerah perbatasan antara Indonesia dan Malaysia di daerah Kecamatan Hulu Bahau, Kabupaten Malinau Propinsi Kalimantan TimurUntuk ke daerah ini ada dua moda transportasi yang bisa di gunakan yaitu dengan menggunakan transportasi udara baik pesawat MAF ataupun Susi Air yang penerbangannya dari Bandara RA. Besing di Kabupaten Malinau kemudian turun di Bandara Perintis di Long Alango dengan jarak tempuh sekitar 35 Menit. Alternative lain menggunakan jalur sungai dari Kabupaten Bulungan kemudian menyusuri sungai Kayan menggunakan Long Boat, setelah itu masuk ke cabang sungai Bahau yang terletak di Kecamatan Long Pujungan setelah dari Long Pujungan mudik lagi ke arah hulu barulah tiba di Long Alango, jarak tempuh kurang lebih 2 hari 2 malam jika kondisi air sedang bagus yaitu tidak banjir dan tidak turun.

Long Alango merupakan wilayah kecamatan, dan daerah ini juga merupakan satu kawasan wilayah adat suku Kenyah yang dipimpin oleh seorang Kepala Adat Besar Ulu Bahau, yaitu Bpk. Anyeq Apui. Ada enam desa di bentangan Sungai Bahau yang masuk dalam wilayah adat Ulu Bahau, yaitu desa Apau Ping, Long Berini, Long Kemuat, Long Alango (ibukota Kecamatan), Long Tebulo dan Long Uli. Pada keenam desa ini, umumnya dihuni oleh 4 (empat) sub etnik Kenyah yaitu Leppu Ke (Apau Ping dan Long Tebulo), Leppu Maut (Long Alango, Long Kemuat dan Long Berini) serta Leppu Ndang dan Uma Lung (Long Uli);

Meskipun dalam pergaulan  sehari-hari masyarakat yang berasal dari keturunan bangsawan (paren) maupun yang berasal dari keturunan masyarakat biasa (panyin) dapat berbaur dan hidup berdampingan secara egaliter, namun dalam penerapan budaya tertentu, masyarakat Kenyah di Ulu Bahau masih sangat memperhatikan mana yang termasuk dalam keturunan bangsawan atau bukan. Hal ini terlihat jelas dalam penelusuran kami tentang penggunaan Saung Seling dalam kehidupan sehari-hari. Bagi masyarakat yang merasa dirinya bukan keturunan bangsawan, jangankan memakai, membuatnya pun mereka merasa tak pantas. Selain terkena sangsi sosial juga akan terkena sangsi adat dari leluhur yaitu parit atau bisa mendapat bala.

Kondisi ini sesungguhnya amat baik, karena kita masih bisa menemui suatu fakta dimana budaya setempat masih sangat diperhatikan dan diterapkan dalam tatanan masyarakatnya. Namun pada sisi lain upaya untuk mencapai tujuan Yayasan Bhakti Total Bagi Indonesia Lestari yaitu melestarikan Saung Seling yang melibatkan sebanyak-banyaknya pengrajin, bisa jadi mengalami kendala yang bersifat kultural. Ada dua hal penting sekaitan hambatan kultural yang dimaksud yaitu, pertama, terbatasnya jumlah ibu-ibu yang termasuk kategori keturunan bangsawan, jelas akan memperlambat tumbuh berkembangnya kelompok pengrajin Saung Seling di daerah ini. Yang kedua, karena Yayasan melestarikan Saung Seling, yang secara jelas diketahui sejak awal bahwa ini hanya milik kaum bangsawan, maka yayasan berpotensi dituduh mengkotak-kotakkan masyarakat (memperkuat garis pemisah antara keturunan bangsawan dengan masyarakat biasa) dan kegiatan kita dipandang hanya menguntung para keturunan bangsawan saja. Karena hanya merekalah yang akan menikmati keuntungan ekonomi dari Saung Seling ini nantinya.

Menyikapi kondisi ini, kami banyak melakukan konsultasi baik dengan masyarakat yang termasuk kategori keturunan bangsawan, dengan Ketua Adat (Kepala Adat Kampung) maupun dengan Kepala Adat Besar Kecamatan Bahau Ulu. Inti konsultasi yang kami lakukan menyangkut dua hal, pertama, kami memahami bahwa yang berhak memakai Saung Seling adalah keturunan bangsawan. Yang dimaksud memakai disini adalah memasang di ruang tamu rumahnya sebagai perhiasan ataupun menggunakannya sebagai payung di kala berjalan di luar rumah. Terkait dengan rencana yayasan untuk melestarikan Saung Seling, yang berarti juga melibatkan sebanyak-banyak anggota masyarakat untuk membuat kerajinan tersebut, maka pertanyaannya adalah: bolehkah kalau warga yang bukan berasal dari keturunan bangsawan untuk membuat Saung Seling, bukan untuk tujuan dipakai, tetapi untuk tujuan dijual (kepada yayasan)? Dalam konteks ini tujuan pembuatannya adalah semata untuk meningkatkan ekonomi keluarga.

Kemudian hal kedua yang kami konsultasikan adalah, jika seandainya diperbolehkan, adakah syarat atau ritual tertentu yang harus dibuat agar si warga non keturunan tadi tidak mengalami musibah (lemah bulu, parip dalam bahasa Kenyah)? Jika ada, apa dan bagaimana hal tersebut dibuat? Gambaran lemah bulu yang dimaksud disini misalnya, cepat meninggal, sakit yang berkepanjangan, cacatnya anggota keluarga dan sebagainya.

Ternyata hasil konsultasi kami menunjukkan pendapat yang berbeda. Bagi warga keturunan bangsawan, ketua adat ataupun Kepala Adat Besar Ulu Bahau berpendapat bahwa hal tersebut tidak ada masalah. Silakan bagi siapa saja yang ingin belajar atau pun membuat Saung Seling baik untuk tujuan dijual. Hanya saja, karena ketentuan ini sudah berlaku sejak turun temurun, maka warga non keturunan bangsawan tetap merasa enggan untuk membuatnya sendiri, karena mereka meyakini bahwa apabila warga non keturunan yang membuat Saung Seling maka akan ada tulah yang menimpa diri dan keluarganya.

Menurut Bapak Aran Lenggang, Ketua Adat di Apau Ping, untuk menghindari tulah dalam pembuatan Saung Seling bisa dilakukan dengan melaksanakan ritual tertentu yang disebut Melewa yaitu semacam upacara untuk meminta izin kepada sang penguasa yang memberikan Saung Seling kepada warga sejak zaman nenek moyang dulu. Upacara ini dilakukan dengan mengoleskan darah ayam di bagian punggung tangan baik di sebelah kiri maupun di sebelah kanan sebagai tanda meminta izin kepada sang pemilik. Hal yang agak berbeda dengan yang dituturkan oleh Kepala Adat Besar Ulu Bahau, bahwa prosesi yang harus ditempuh oleh warga yang ingin membuat Saung Seling untuk pertama kalinya adalah dengan memasangkan sebuah gelang yang terbuat dari lempeng kuningan yang biasa disebut Sulau Jangin pada salah satu tangannya. Dengan ini maka yang bersangkutan menjadi aman untuk membuat Saung Seling.


Legenda Munculnya Saung Seling

Karena Saung Seling ini memiliki nilai kultural yang sangat sakral bagi masyarakat Kenyah di Ulu Bahau, kami mencoba menelusuri bagaimana cerita munculnya Saung Seling dan mengapa Saung tersebut hanya boleh dipakai oleh warga keturunan bangsawan saja. Selain itu hal lain yang ingin kami ketahui adalah mengapa motif utama di Saung Seling selalu bergambar manusia, sementara kita ketahui bahwa suku Kenyah sangat kaya akan aneka motif anyaman.

Menurut Ketua Adat Apau Ping, Bapak Aran Lenggang, legenda kemunculan Saung Seling ini adalah demikian:
Adalah warga Leppu Ke  saat menuba[1] di Sungai Bahau, tepatnya di Kuala Berau. Mereka menggunakan batang tuba dan dicampur dengan lombok yang ditumbuk. Banyak ikan mabuk karenanya dan masyarakat tinggal memungut dan memasukkannya ke dalam perahu. Tiba-tiba mereka melihat seorang tua muncul dari dalam air, kemudian duduk di atas batu besar dengan menggunakan Saung Seling yang lengkap dengan bulu burung enggang (tebengang). Orang tua itu kemudian menegur masyarakat yang ikut menuba tersebut dengan mengatakan: mengapa kalian menggunakan lombok (cabe), anak cucu saya kepedasan matanya. Lain kali jangan lagi kalian nuba dengan menggunakan lombok ya Setelah berkata demikian, orang tua tersebut kemudian mencopot Saung Seling yang dipakainya dengan memberikan kepada salah seorang warga dengan memberikan pesan, bahwa Saung Seling tersebut hanya bisa dipakai oleh warga yang keturunan bangsawan saja dan setelah itu orang tua tersebut kembali lagi ke dalam air.

Adapun legenda munculnya Saung Seling menurut Kepala Adat Besar Bahau Ulu, Anyeq Apui, kemuculan Saung Seling di kalangan Kenyah Leppu Maut adalah demikian:
Ada sepasang suami istri (bangsawan?) yang memiliki anak gadis yang sangat cantik. Anak gadis ini kemudian banyak dilamar oleh para pemuda, baik dari kalangan masyarakat biasa (panyin) maupun yang berasal dari kalangan bangsawan (paren). Namun sayangnya semua lamaran para pemuda ini ditolak oleh sang gadis. Kedua orang tuanya heran dan marah kepada anak gadisnya, apa sebenarnya yang ia cari? Orang tuanya sempat menanyakan kepada anaknya, siapakah yang sesungguhnya diinginkan anaknya sebagai suaminya kelak. Dalam marahnya, sang ayah menanyakan kepada anaknya: apakah kau ingin menikah dengan Jalung Bali Jelau? Pertanyaan ini sesungguhnya tidak masuk akal, karena Jalung Bali Jelau ini adalah nama mahluk gaib penguasa (raja) air.

Namun, konon pertanyaan sang ayah ini didengar oleh sang raja air, Jalung Bali Jelau dari tempatnya. Maka dengan cara sembunyi-sembunyi sang raja air menjelma menjadi manusia dimalam hari dan datang meniduri sang gadis. Sebelum fajar, dia berubah ke wujudnya semula dan kembali ke dalam air. Demikianlah singkat cerita sang gadis menjadi hamil. Melihat anaknya hamil, maka terkejutlah kedua orang tuanya, karena merasa tak pernah tahu kalau anaknya memiliki pacar. Siapa gerangan yang menghamilinya?

Setelah didesak-desak sedemikian rupa, walau awalnya diam seribu bahasa, namun akhirnya anaknya berterus terang bahwa yang menghamilinya adalah orang yang dikatakan ayahnya dulu, yaitu Jalung Bali Jelau. Mendengar penuturan anaknya, ayahnya tak lantas percaya. Untuk membuktikannya, sang ayah melakukan pengintaian. Betul saja, ketika malam telah larut, dilihatnyalah Jalung Bali Jelau memasuki rumahnya untuk mendatangi anaknya yang sudah hamil. Maka percayalah sang ayah.

Namun demikian, pengintaian orang tuanya diketahui oleh Jalung Bali Jelau. Oleh karenanya, sang raja air mengatakan bahwa karena kehadirannya sudah ketahuan, maka dia tidak akan bisa datang lagi ke rumah tersebut. Selanjutnya dia berpesan, kalau anaknya lahir kelak, tolong namai dia Lendem. Asuhlah dia dengan baik, pakaikan dia bening yaitu gendongan bayi yang di taruh dipunggung berukir manik dan taring binatang, kenakan baju talun (baju dari kulit kayu) berukir dan sebagai pelindung, pakailah Saung Seling. Jika ada hujan gerimis disaat panas terik, datanglah ke tepi sungai, nanti saya kirimkan pakaian yang dimaksud.

Tepat sebagaimana yang dipesankan oleh Jalung Bali Jelau, disaat panas terik tetapi hujan gerimis, sang ibu si bayi mendatangi tepi sungai. Maka terlihatlah seperangkat perlengkapan bayi berupa baju talun berukir, gendongan bening berukir manik dan berhias taring beruang dan Saung Seling lengkap dengan bulu enggang di atasnya sebagai payung dikala membawa sang bayi berjalan-jalan di luar rumah.

Demikianlah cerita munculnya Saung Seling. Maka atas dasar itulah masyarakat Kenyah di Ulu Bahau, khususnya kaum bangsawannya menggunakan Saung Seling dikala mengasuh bayinya ataupun untuk kepentingan lainnya. Atas dasar itu pula motif orang yang ada pada bagian puncak Saung Seling tidak pernah diubah-ubah karena motif itu sudah ada demikian adanya sejak Saung Seling pertama yang diberikan oleh Jalung Bali Jelau. Terutama pada bagian ujung nya yang tidak boleh tertinggal pada saat membuatnya.

Catatan :
Berdasarkan sumber yang ditemui termasuk penjelasan penting dari kepala adat besar ulu bahau, bahwa saung seling merupakan milik dari suku kenyah leppu Maut

Sumber :
Merupakan Hasil Catatan Lapangan ; Yayasan Bhakti Total Bagi Indonesia Lestari
Kontributor :  A. Faisal Kairupan




[1] Memasukkan batang tumbuhan tuba yang sudah dihancurkan ke dalam air, agar cairannya yang berwarna seperti susu memabukkan (tidak mematikan) ikan-ikan yang ada dalam sungai sehingga orang yang nuba bisa mengambil ikan-ikan tersebut dengan mudah.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar